godisadirector

cin(T)a : a love triangle between a boy, a girl, and God

In let's share!! on May 21, 2009 at 11:21 am

by Andari Saraswati Antono

For the first time, I’ll be going to a movie premiere, and I’m all excited! Sure, there’s interest by default in a movie that literally reminds me of home. But more substantially, I’m intrigued because cin(T)a – the movie I’m talking about – boldly treads on a delicate subject many Indonesians still refrain from speaking of, let alone dealing with: a love between two people who call God by different names.

To those who are not quite familiar with the Indonesian fabric: this is a place so diverse that averages are practically useless (search “Indonesia” on Wikipedia and you’ll know what I mean). That we manage to co-exist happily (for the most part, at least) is perhaps a miracle taken for granted.

Yet love, relationships and marriages are seen through a different lens when it involves more than one faith. No, we don’t practice religions to the same level of piety, but religion still is an integral part of the Indonesian life and spirituality is still something embedded deeply in the Indonesian psyche … something a lot of us want to hang on to.

Of course we can’t accuse anyone who holds firmly to their belief of being intolerant — everyone has the right to believe in what is right for them. But it doesn’t make it easy for interfaith couples to find a common ground. Even if couples can get past this hurdle, families on both sides often have a non-negotiable conviction that one should marry only within the same religion. As marriages in Indonesia is never only about two people, but about two clans meshing together, interfaith union is tricky business indeed. And some kind of a taboo, although I suspect there are more stories out there than anyone would admit.

Now cin(T)a is raising a voice on a traditionally hushed cause for conversation. I’ve yet to see it at the premiere, so I don’t know how far it deals with a potentially nerve-touching matter. But at least it promises a dialogue; if resolution is impossible then I’m happy that at least someone is asking all the profound questions. I hope they would be the start of many, many open-minded conversations.

cin(T)a the movie – synopsis

In the movie on May 19, 2009 at 4:16 am

Cina (Sunny Soon), seorang mahasiswa baru yang belum pernah mengalami kegagalan dalam hidup,  sehingga dia yakin bisa mewujudkan impiannya menjadi Gubernur Tapanuli hanya dengan modal iman.

Annisa (Saira Jihan), mahasiswi tingkat akhir 24 tahun yang kuliahnya terhambat karena  karirnya di dunia film. Popularitas dan kecantikan membuatnya kesepian, sehingga ia bersahabat dengan jarinya sendiri yang digambari bermuka sedih. Sampai suatu hari datang ‘jari’ lain yang menemani.

Tuhan, karakter yang paling tidak bisa ditebak.  Setiap orang merasa mengenal-Nya. Setiap karya seni mencoba untuk menggambarkan-Nya, tapi tidak ada yang benar-benar mampu menggambarkan-Nya.

Tuhan mencintai Cina dan Annisa, tapi Cina dan Annisa tidak dapat saling mencintai karena mereka memanggil Tuhan dengan nama yang berbeda.

Menanti Annisa

In the movie on May 14, 2009 at 4:41 am

by Sammaria Simanjuntak

“Hukum Newton 1: Kecantikan berbanding terbalik dengan kepintaran”  seru karakter Cina di awal film.

Pelajaran pertama dalam menulis skenario: Hati-hati pernyataan  di dalam skenario malah berbalik menyerang lo!

Ini yang terjadi pada saat kami  mencari Annisa. Kami kesulitan mencari Annisa yang tidak hanya  sekedar cantik   karena dialog di film ini panjang-panjang dan berat.  (Pelajaran kedua menulis skenario: mikir dong  gimana ngapalinnya!)  Butuh konsentrasi  dan kecerdasan tinggi untuk memerankan Annisa di film ini.

Jadi dimulailah perburuan kami  mencari wanita bertampang sinetron, tapi aktingnya gak sinetron. Silih berganti wanita yang memasuki ruang casting semakin meneguhkan hipotesis tadi, kecantikan memang berbanding terbalik dengan kepintaran. Sebenarnya banyak juga wanita cantik dan pintar yang masuk  seleksi, hanya sayangnya wajahnya terlalu pintar. Matanya terlalu bercahaya dan penuh semangat hidup. Sedangkan untuk karakter Annisa, kami butuh tipikal karakter wanita cantik yang sering dicap bodoh, bermata sayu,  tanpa semangat hidup, tapi dalam kehidupan nyata mampuslah  kami  kalau dia beneran bodoh.

Lelah mencari,  saya mengajukan diri ke produser untuk memerankan Annisa. Wanita cantik dan pintar, siapa lagi kalau bukan saya? Dengan mata disayu-sayukan, saya merayu produser untuk memakai saya saja. Tapi produser saya  menolak dengan alasan  produksi kami gak mampu nyewa lensa wide yang mampu menangkap  lebar tubuh saya tanpa terpotong frame.  Dasar produser  gak tahu barang bagus. Dengan menggerutu, saya kembali ke kursi  sutradara yang tiba-tiba membengkok ketika saya duduki. Oops.

Jadwal shooting sudah diundur dua bulan  dan kami belum juga menemukan Annisa. Si Cina sudah merengek-rengek minta dicarikan jodoh. Setelah gagal mencari Annisa di negeri kami sendiri, Bandung, akhirnya kami melanjutkan pencarian ke negeri tetangga, Jakarta. Di Jakarta  banyak juga cewe cantik dan pintar yang qualified untuk menjadi Annisa, tapi tidak cukup gila untuk mau menerima pinangan produser miskin  dari Bandung. Kriteria Annisa pun bertambah : cantik, pintar, dan gila.

Penantian kami ternyata tidak sia-sia.  Akhirnya  jodohnya Cina datang juga. She’s our own Annisa, anggota terakhir di daftar  tim kecil nan belagu ini. Selain cantik, pintar, dan gila, Saira juga jago menipu. Dengan mata sayu, Saira berhasil meyakinkan sutradara kalau dia beneran bego dan gak punya semangat hidup. Jurus mata sayunya ini  bahkan berhasil  menurunkan kucing jantan dari pohon tanpa Saira bergerak sedikit pun.  Ditambah lagi  bakat-bakat terpendam  yang gak dimiliki artis lain: jago bongkar angkut  tripod dan mampu menghabiskan makanan porsi kuli.

The Big Director really saves the best for last for us.
Saira Jihan, we love you.